Sabtu, 09 Juni 2012

Pemanfaatan Pengelolaan Wilayah Pesisir

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia . Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Dua pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia . Laut juga memberikan kehidupan secara langsung bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak langsung memberikan kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika berbicara laut maka satu hal yang tidak dilupakan adalah “pesisir”. Pesisir juga tidak dapat dipisahkan dari laut sebagaimana daratan. Bahkan pesisir mempunyai arti dan fungsi tersendiri, karena pesisir merupakan wilayah yang membatasi antara laut dan darat. Jadi boleh dikatakan disini bahwa yang menjadi perekat dan pemersatu antara lautan dan daratan adalah pesisir. Pesisir merupakan transisi antara ekosistem kehidupan laut dengan ekosistem kehidupan darat.
Selama ini pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir di Daerah belum dilaksanakan oleh Daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Daerah. Berbagai kewenangan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan kelautan dan pesisir berada di tangan Pusat.
Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan yaitu era desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana masing-masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan pemerintahan semata, namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah (regional). Dengan digulirkannya Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th 1999), maka penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya alam kini di desentralisasikan kepada tingkat regional atau daerah yang mana sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau lebih bersifat sentralistis.
Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Pasal 10 UU NO. 22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk mengelola sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Kewenangan ini meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan bantuan penegakan hukum, serta bantuan penegakan kedaulatan negara.
Namun sayangnya selama ini konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang digulirkan selama ini selalu kita fahami sebagai otonomi darat semata, sehingga sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintahan difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya daratan, padahal untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang memiliki  wilayah pesisir dan laut, terlebih lagi  Propinsi, Kabupaten dan Kota yang berbentuk kepulauan sebagai contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Kepulauan Seribu dan Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi otonomi ekonomi juga berada di wilayah laut. Otonomi dalam konteks ini bukan hanya mengkavling darat adalah sebagai bahagian utama pembangunan, tetapi juga menyertakan wilayah laut dalam memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar laut, laut dalam dan permukaan laut.
1.2 Tujuan
  1. Mengetahui  manfaat dari sumberdaya wilayah pesisir.
  2. Mengetahui kewenangan pengelolaan wilayah pesisir melalui desentralisasi atau otonomi daerah.
  3. Sebagai sarana informasi bagi khalayak ramai.
  4. Sebagai salah satu pemenuhan tugas mata kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengelolaan Perairan Pesisir
Perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir yang merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana secara biofisik batas dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh berbagai aktivitas lautan, seperti intrusi air laut, pasang surut, dan angin laut. Sementara ke arah laut masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti; aliran sungai, sedimentasi akibat penggundulan hutan, pencemaran limbah dari aktivitas pertanian, industri dan lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat berhubungan erat dengan sistem sungai (daerah aliran sungai) yang merupakan penghubung ekosistem darat (up land) dengan ekosistem lautan.
Batas perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena tergantung karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan sangat berbeda, karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu sungai dimana aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas perairan pesisir akan semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi berbagai aktivitas daratan baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik yang dibawa oleh aliran sungai.    
Untuk itu, dalam melakukan pengelolaan perairan pesisir harus mengutamakan 3 prinsip keterpaduan; Prinsip-1, yaitu keterpaduan antar ekosistem darat dan laut, dimana harus mempertimbangkan berbagai dampak biofisik dan sosial-ekonomi yang terkait antara ekosistem darat dan lautan, karena merupakan satu kesatuan ekologi yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya ancaman dan kerusakan terhadap ekosistem daratan akan berimplikasi negatif terhadap ekosistem lautan, begitu pula sebalinya.
Prinsip ke-2, yaitu keterpaduan antar sektor dan atau stakeholder, karena berbagi sektor yang terkait dengan pengelolaan perairan pesisir tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitasnya, apalagi perairan pesisir merupakan pusat pemanfaatan dan kegiatan dari berbagai sektor yang berhubungan dengan daratan maupun lautan, seperti jasa transportasi laut, industri galangan kapal, perikanan, pertambangan, pariwisata, kehutanan, pertanian, dan  industri manufaktur di daratan. Sehingga dibutuhkan kerjasama dan koordinasi untuk menghindari arogansi masing-masing sektor dalam mengimplementasikan program pembangunannya. Selain itu stakeholder terkait seperti pihak pemerintah, swasta, akademisi, LSM dan masyarakat perlu diakomodir bersama-sama dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk penyamaan persepsi.
Prinsip ke-3, yaitu Keterpaduan antar level pemerintahan, baik pusat maupun daerah, dimana harus  ada komunikasi 2 arah dan kerjasama yang harmonis antar level pemerintahan, agar tidak terjadi kesalahan dan ketidak akuratan dalam melakukan perencanaan dan pengimplementasian berbagai program pembangunan.
Tanpa adanya penataan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir dan lautan secara terpadu, maka akan memberikan ekses negatif bagi keberlanjutan kawasan perairan pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya di masa-masa yang akan datang.

2.2 Kewenangan Daerah di Bidang Kelautan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi msyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah :
·       Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut.
·       Pengaturan kepentingan administratif.
·       Pengaturan tata ruang.
·       Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.
·       Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Yang termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota .
Daerah pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut berada dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999 yang menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
Sejalan dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir untuk digunakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Daerah. Untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di Daerah maka seluruh potensi sumber daya yang tersedia di Daerah akan dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki Sebagian Daerah adalah potensi daerah pesisir.
2.3 Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
2. Kompensasi
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.
Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.
4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
Ø  Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir.
Ø  Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil.
Ø  Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif.
5. Penentuan Sektor Unggulan
            Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
6. Penentuan Struktur Tata Ruang
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
7. Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.
8. Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St   =   Vt x t
St   =   Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt  =    Kecepatan sebar pencemar
t     =    Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
9. Musyawarah dan Hak Adat/ Tradisional
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat.
Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
Ø  Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana
Ø  Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro
Ø  Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
Ø  Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
Ø  Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan.
2.4 Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah melalui undang-undang No. 22/1999, provinsi diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya pesisir dalam batas 12 mil laut perairan wilayah Indonesia. Isi dari undang-undang yang terdapat pada pasal 10 yaitu memberikan wewenang untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengatur sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada pemerintah pusat dalam pelaksanaan undang-undang dan kedaulatan nasional.
Berdasarkan keputusan Menteri No. 10/2002 wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antar ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh 12 mil batas wilayah kearah perairan dan batas kabupaten atau kota kearah pedalaman. Lokasi zona pesisir ini merupakan focus dari kegiatan perencanaan dalam proyek MCRM (Marine and Coastal Resources Management). Kewenangan untuk pengelolaan laut dan sumberdaya pesisir yang terbentang antara 12 mil batas wilayah perairan sampai dengan 200 mil ZEE Indonesia tetap berada di pemerintah pusat dan diserahkan kepada DKP.
Otonomi daerah, diasumsikan bahwa pemerintah kabupaten akan menjadi sasaran pokok dan yang memperoleh manfaat terbesar dari program ICZM. Rencana ICZM berbasis pada perencanaan untuk wilayah taman nasional dan konservasi, tetapi hal ini dapat disesuaikan untuk tingkat cakupan wilayah provinsi, kabupaten/kota atau daerah prioritas. Rencana strategis biasanya disiapkan untuk wilayah yang luas (Provinsi), tapi dalam prakteknya dapat juga disusun untuk tingkat kabupaten/kota karena mandat pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan dalam Undang-undang 22/1999. Dalam proyek MCRM, Rencana Zonasi, Rencana pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan di tingkat kabupaten, namun boleh juga dilakukan pada tingkat provinsi agar prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan memiliki prioritas.
ICZM adalah suatu proses pemerintahan yang melibatkan penyusunan rencana-rencana strategis, zonasi, pengelolaan dan aksi, terstruktur menurut hirarkinya. Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi Pemangku Kepentingan yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan sumberdaya. Manfaat menyiapkan dokumen Rencana Strategis, Rencana Zonasi, dan Rencana Aksi hanya dapat dirasakan jika kemauan dan kemampuan kelembagaan tersedia untuk melaksanakannya.
Rencana pengelolaan harus mendukung hakikat penegakan hokum, peraturan-peraturan dan proses-proses administrasi yang berlaku dengan menyediakan pedoman yang rinci untuk pejabat pemerintah dan pengelola sumberdaya. Tujuan khusus Rencana Pengelolaan adalah untuk :
1. Membangun kerjasama kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan masyarakat.
2. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal (usulan) pembangunan secara sistematik.
3. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki rencana ICZM.
4. Mengkoordinasikan dengan inisiatif-inisiatif perencanaan lain.

Rencana Pengelolaan (RP) harus meyakinkan bahwa
·         Adanya kebijakan dan prosedur untuk pelaksanan arahan pemanfaatan wilayah dan persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin-izin pembangunan.
·         Peninjauan arahan pemanfaatan wilayah dan perizinan yang terkait dengannya dilakukan secara sistematik
·         Terbentuknya buku registrasi public meliputi keseluruhan arahan pemanfaatan wilayah dan izin penggunaannya.
·         Hasil konsultasi publik dipertimbangkan dalam penentuan atau perbaikan arahan pemanfaatan wilayah dan pengeluaran izinnya.
·         Catatan resmi publik terawat dan dapat diakses.
·         Mekanisme pelaporan pengelolaan dilaksanakan.
·         Pelatihan dan dukungan terhadap instansi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur tersedia.

Pengelolaan sumberdaya pesisir telah didelegasikan kepada yang berwenang di daerah berdasarkan UU 22/1999. Oleh karena itu penyelenggara pemerintah local harus diperkuat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pengelolaan seperti inventarisasi sumberdaya alam, perencanaan untuk perlindungan sumberdaya dan kesinambungan produksi dan penyelesaian konflik. Struktur rencana pengelolaan merupakan bagian dari sejumlah rencana ICZM yang saling melengkapi. Rencana ICZM dimaksudkan untuk menjadi dokumen”hidup” dan oleh karena itu harus diperbaiki secara berkala, sejalan dengan pengalaman yang diperoleh dari pelaksanaannya.

2.5 Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah
Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan baru terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di Daerah.
Mengingat kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi Daerah maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.
2.6 Permasalahan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pesisir
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir secara tidak langsung juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam di hulu yang berpengaruh terhadap muara di pesisir.
Kebijakan reklamasi pantai yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan pada beberapa Daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem di pesisir. Perizinan pengembangan usaha bagi kalangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi kewenangan Pusat. Kadangkala dalam hal pemberian izin tersebut tanpa memperhatikan kepentingan Daerah dan masyarakat setempat.
Jika kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
·       Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan.
·       Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral, sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
·       Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Daerah.
·       Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
            Sedangkan isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
·       Adanya kesan bahwa sebagian Daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut dan pantainya. Untuk itu perlu ditetapkan oleh Pusat pedoman bagi pelaksanaan kewenangan Daerah di bidang kelautan.
·       Pemahaman Daerah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan.
·       Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara lestari dan berkelanjutan.
2.7 Terobosan Baru Pengelolaan Wilayah Pesisir :
Lahirnya Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) patut diberikan apresiasi positif, karena ini menandakan adanya niat baik dari semua pihak, terutama legislatif dan eksekutif untuk memperhatikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai potensi unggulan yang selama ini termarjinalkan. UU-PWP3K diharapkan menjadi payung hukum bagi semua stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik pemanfaatan yang berkepanjangan.
Hal yang menarik dari UU-PWP3K ini yaitu; akan adanya pemberlakuan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) di seluruh provinsi dan kabupaten kota di Indonesia yang memiliki potensi laut, dan dapat diberikan kepada perseorangan, badan usaha atau masyarakat adat, dimana HP3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan dasar laut dengan tetap mempertimbangkan kelestarian ekosistemnya.
Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan suatu terobosan baru dan sangat penting dalam bidang coastal resources management di Indonesia, dan akan mulai diberlakukan setelah setiap daerah telah selesai melakukan penataan ruang pesisir dan laut secara jelas dengan mengakomodir semua sektor terkait, untuk menghindari overlaping dan meminimalisir konflik pemanfaatan perairan pesisir. Adapun pengecualian dalam upaya pemberian HP3 nantinya adalah tidak boleh diberikan pada kawasan konservasi, suaka perikanan, pelabuhan, pantai umum dan alur pelayaran.
Selain itu, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya, karena perairan pesisir sangat berbeda dengan wilayah daratan, baik dari aspek biofisik-kimia maupun sosial-ekonomi. Secara biologis kawasan ini kaya akan keanekaragaman sumberdaya hayati yang rentan terhadap faktor eksternal berupa tekanan eksploitasi yang berlebihan, karena akan menyebabkan over eksploitasi. sedangkan secara fisik kawasan perairan pesisir beserta sumberdaya alamnya sangat rentan terhadap aktivitas manusia yang merusak, seperti destruktif fishing, penambangan karang dan pasir, yang akan menyebabkan degradasi dan menurunkan mutu lingkungan perairan pesisir. Sementara secara kimiawi kawasan ini juga rawan terhadap bahaya pencemaran, seperti tumpahan minyak dari kapal dan buangan limbah kimia berbahaya yang mengandung logam berat dari berbagai aktivitas manusia di daratan, karena dapat memberikan dampak yang besar terhadap menurunnya kualitas perairan pesisir.
Dari aspek sosial-ekonomi, perairan pesisir sangat rentan konflik pemanfaatan ruang antar berbagai sektor dan atau stakeholder terkait. Apalagi kedepan akan adanya perubahan yang sangat fundamental terhadap status kepemilikan perairan pesisir beserta sumberda alamnya, yang tadinya dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access) karena milik bersama (common property resources), namun dengan pemberlakuan HP3 akan berubah status menjadi milik pribadi (private property resources) walaupun dalam batas wilayah dan rentang waktu tertentu, karena hak-hak masyarakat secara umum berupa hak akses maupun hak pemanfaatan akan dibatasi bahkan hilang.
2.8 Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan Bakau Rusak
Pengelolaan wilayah pesisir tidak terarah. Hingga kini, pemerintah pusat belum menerbitkan aturan tentang panduan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini menghambat upaya pemerintah kabupaten/kota dalam upaya membangun wilayah pesisir.
Hal itu dikemukakan Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria, Selasa (9/9) di Jakarta. Menurut Arif, belum dibuatnya aturan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir menunjukkan bahwa pemerintah pusat belum berpihak pada pelestarian dan pengelolaan kawasan pesisir.
Dijelaskan, pada Juli 2007, pemerintah menerbitkan Undang- Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU itu menugaskan agar dibuat peraturan menteri (permen) kelautan dan perikanan paling lambat Oktober 2007 untuk menjabarkan UU No 27/2007 itu. ”Namun, hingga kini belum ada permen yang disahkan,” kataArif.
Setidaknya 11 draf permen kelautan dan perikanan terkait pengelolaan pesisir telah selesai disusun tahun 2007, tetapi hingga kini belum ada yang disahkan.
Rancangan permen itu antara lain tentang perencanaan pengelolaanpesisir, pemberdayaan masyarakat, konservasi pesisir, mitra bahari, pemanfaatan pulau kecil, pengawasan, dan akreditasi. ”Kelambatan penerbitan aturan turunan merupakan langkah mundur pemerintah. Ini menghambat kabupaten/kota dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir,” ujar Arif.
Menurut Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP Syamsul Maarif, tertundanya pengesahan permen pengelolaan pesisir karena ada hambatan administrasi.
Syamsul mengakui, tidak adanya aturan yang jelas telah menyebabkan pengelolaan wilayah pesisir tidak terarah dan berpotensi merusak lingkungan.
Menurut Syamsul, meski belum ada panduan dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dapat menyusun perda pengelolaan pesisir tanpa harus menunggu permen.
”Silakan pemda berkonsultasi dengan pemerintah pusat tentang perda pengelolaan pesisir. Sepanjang isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, maka dimungkinkan,” katanya.
Tidak adanya panduan tentang pengelolaan pesisir, kata Arif, membuat pemda kerap membuat aturan tata ruang sendiri yang acapkali tidak  memerhatikan kelestarian lingkungan.
2.8.1 Hutan bakau rusak
Data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, laju kerusakan hutan bakau sekitar 200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air kini diperkirakan hanya tinggal 1,2 juta hektar karena sebagian sudah beralih menjadi tambak, permukiman, dan kawasan industri. Padahal, luas wilayah pesisir Indonesia dua pertiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia. (lkt) Kompas.com 10-09-2008.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
3.2 Saran
Pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dan pelaku pembangunan serta semua stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir secara terpadu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Petunjuk Penyusunan RENCANA PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT.Direktorat Pesisir dan Lautan. 2006. http://www.kp3k.dkp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=260 online 12 Agustus 2009 at 20.49 WIB.

Dedi syafikri.Identifikasi Potensi dan Permasalahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Era.28 april 2009. http://www.nusatenggaranews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=16&artid=8195. Online 12 Agustus 2009 at 21.30 WIB.
Disajikan pada Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir, Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Graha SUCOFINDO, Jakarta Selatan, 12 September 2001

Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah. http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=106. Online 12 Agustus 2009 at 20.38 WIB.

Husain Latuconsina(Staf  Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Darussalam).HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR DI INDONESIA.online 12 Agustus at 20 40 WIB.

Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan Bakau Rusak  http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=8317&Itemid=696 online 12 Agustus 2009 at 20.55 WIB.

PENTINGNYA PENGELOLAAN TATA RUANG WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. February 18, 2007 by Joyke Christian Kumaat. http://jchkumaat.wordpress.com/2007/02/18/pentingnya-pengelolaan-tata-ruang-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil/ online 12 Agustus 2009 at 21.22 WIB.

Makalah Neni Nurani.2008.


1 komentar:

  1. artikel yang sangat memberikan informasi
    www.sepatusafetyonline.com

    BalasHapus