BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melihat keterbatasan sumberdaya alam darat, sudah saatnya
melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan. Didalam lautan terkandung sumber
pangan yang sangat besar yakni ikan dan rumput laut. Sumberdaya laut lainnya
adalah bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi,
serta masih banyak lagi potensi sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya
sehingga peranan sumberdaya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu
pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
Laut
merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia . Karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan
Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Dua pertiga dari
luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan
fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia . Laut juga memberikan
kehidupan secara langsung bagi jutaan rakyat Indonesia dan secara tidak
langsung memberikan kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika
berbicara laut maka satu hal yang tidak dilupakan adalah “pesisir”. Pesisir
juga tidak dapat dipisahkan dari laut sebagaimana daratan. Bahkan pesisir
mempunyai arti dan fungsi tersendiri, karena pesisir merupakan wilayah yang
membatasi antara laut dan darat. Jadi boleh dikatakan disini bahwa yang menjadi
perekat dan pemersatu antara lautan dan daratan adalah pesisir. Pesisir
merupakan transisi antara ekosistem kehidupan laut dengan ekosistem kehidupan
darat.
Selama
ini pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir di Daerah belum dilaksanakan
oleh Daerah secara optimal karena hal ini sangat berhubungan dengan kewenangan
yang dimiliki oleh Daerah. Berbagai kewenangan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan kelautan dan pesisir berada di tangan Pusat.
Saat
ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan yaitu era
desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah dimana
masing-masing daerah (region) memiliki wewenang (otoritas) dan tanggung jawab
dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang
dimilikinya. Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan
pemerintahan semata, namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau
pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah
(regional). Dengan digulirkannya Undang-undang otonomi daerah ini (UU No.22 Th
1999), maka penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 45 yang menyangkut aspek pengelolaan
sumberdaya alam kini di desentralisasikan kepada tingkat regional atau daerah
yang mana sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau lebih
bersifat sentralistis.
Lahirnya
otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (UUPD), telah memberi kewenangan bagi Pemerintah
Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya pesisir
sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut. Pasal 10 UU NO.
22/1999 memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten/Kota untuk mengelola
sumberdaya pesisir sepertiga dari wilayah laut Daerah Propinsi. Kewenangan ini
meliputi kewenangan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan
sumberdaya alam, tata ruang, administrasi dan bantuan penegakan hukum, serta
bantuan penegakan kedaulatan negara.
Namun sayangnya selama ini konsep
desentralisasi atau otonomi daerah yang digulirkan selama ini selalu kita
fahami sebagai otonomi darat semata, sehingga sebagian besar dari
kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintahan
difokuskan hanya pada pengelolaan sumberdaya daratan, padahal untuk Propinsi,
Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang memiliki wilayah pesisir dan
laut, terlebih lagi Propinsi, Kabupaten dan Kota yang berbentuk kepulauan
sebagai contoh, NTB, NTT, Maluku, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Kepulauan Seribu
dan Kabupaten Kepulauan Karimunjawa, esensi otonomi ekonomi juga berada di
wilayah laut. Otonomi dalam konteks ini bukan hanya mengkavling darat adalah
sebagai bahagian utama pembangunan, tetapi juga menyertakan wilayah laut dalam
memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik di dalam perut bumi,
dasar laut, laut dalam dan permukaan laut.
1.2 Tujuan
- Mengetahui manfaat dari sumberdaya wilayah pesisir.
- Mengetahui
kewenangan pengelolaan wilayah pesisir melalui desentralisasi atau otonomi
daerah.
- Sebagai
sarana informasi bagi khalayak ramai.
- Sebagai salah satu pemenuhan tugas
mata kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengelolaan Perairan Pesisir
Perairan pesisir adalah bagian integral dari wilayah pesisir yang
merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan, dimana secara
biofisik batas dari wilayah pesisir ke arah darat masih dipengaruhi oleh
berbagai aktivitas lautan, seperti intrusi air laut, pasang surut, dan angin
laut. Sementara ke arah laut masih dipengaruhi oleh aktivitas daratan seperti;
aliran sungai, sedimentasi akibat penggundulan hutan, pencemaran limbah dari
aktivitas pertanian, industri dan lainnya. Sehingga perairan pesisir sangat
berhubungan erat dengan sistem sungai (daerah aliran sungai) yang merupakan
penghubung ekosistem darat (up land) dengan ekosistem lautan.
Batas
perairan pesisir sebenarnya hanya berupa garis khayal, karena tergantung
karakter biofisik suatu daerah, sehingga pada tiap-tiap daerah akan sangat
berbeda, karena batas wilayah perairan pesisir bisa masuk sampai ke hulu sungai
dimana aktivitas lautan masih mempengaruhinya, begitu pula batas perairan
pesisir akan semakain jauh menuju laut lepas dimana masih dipengaruhi berbagai
aktivitas daratan baik secara alami maupun oleh aktivitas antropogenik yang
dibawa oleh aliran sungai.
Untuk
itu, dalam melakukan pengelolaan perairan pesisir harus mengutamakan 3 prinsip
keterpaduan; Prinsip-1, yaitu keterpaduan antar ekosistem darat dan laut,
dimana harus mempertimbangkan berbagai dampak biofisik dan sosial-ekonomi yang
terkait antara ekosistem darat dan lautan, karena merupakan satu kesatuan
ekologi yang tidak bisa dilepas pisahkan. Artinya ancaman dan kerusakan terhadap
ekosistem daratan akan berimplikasi negatif terhadap ekosistem lautan, begitu
pula sebalinya.
Prinsip
ke-2, yaitu keterpaduan antar sektor dan atau stakeholder, karena berbagi
sektor yang terkait dengan pengelolaan perairan pesisir tidak bisa berjalan
sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitasnya, apalagi perairan pesisir
merupakan pusat pemanfaatan dan kegiatan dari berbagai sektor yang berhubungan
dengan daratan maupun lautan, seperti jasa transportasi laut, industri galangan
kapal, perikanan, pertambangan, pariwisata, kehutanan, pertanian, dan industri manufaktur di daratan. Sehingga
dibutuhkan kerjasama dan koordinasi untuk menghindari arogansi masing-masing
sektor dalam mengimplementasikan program pembangunannya. Selain itu stakeholder
terkait seperti pihak pemerintah, swasta, akademisi, LSM dan masyarakat perlu
diakomodir bersama-sama dalam penentuan kebijakan yang berhubungan dengan
pengelolaan perairan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil untuk penyamaan
persepsi.
Prinsip
ke-3, yaitu Keterpaduan antar level pemerintahan, baik pusat maupun daerah,
dimana harus ada komunikasi 2 arah dan
kerjasama yang harmonis antar level pemerintahan, agar tidak terjadi kesalahan
dan ketidak akuratan dalam melakukan perencanaan dan pengimplementasian
berbagai program pembangunan.
Tanpa
adanya penataan dan pengelolaan kawasan perairan pesisir dan lautan secara
terpadu, maka akan memberikan ekses negatif bagi keberlanjutan kawasan perairan
pesisir dan laut beserta sumberdaya alamnya di masa-masa yang akan datang.
2.2 Kewenangan Daerah di Bidang
Kelautan
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas
kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya sendiri berdasarkan aspirasi msyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999
menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah :
·
Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut.
· Pengaturan kepentingan administratif.
· Pengaturan tata ruang.
· Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah.
·
Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Yang
termasuk wilayah laut Daerah Propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang
diukur dari garis pantai arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
Sedangkan wilayah laut Daerah Kabupaten dan Kota adalah sepertiga dari wilayah
laut Daerah Propinsi. Dengan memperhatikan ketentuan tersebut maka daerah
pesisir merupakan kewenangan dari Daerah Kabupaten dan Kota .
Daerah
pesisir sebagai transisi dari ekosistem darat dengan ekosistem laut berada
dalam kewenangan Daerah di bidang kelautan. Sesuai dengan UU 22/1999 yang
menyatakan bahwa wilayah laut dari Kabupaten/Kota adalah sepertiga dari wilayah
laut Propinsi berarti sepanjang 4 (empat) mil laut dari garis pantai, maka
wilayah pesisir berada dalam kewenangan Daerah Kabupaten atau Kota setempat.
Sejalan
dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya,
maka Daerah akan mengelola dan memanfaatkan daerah pesisir untuk digunakan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat Daerah. Untuk memenuhi kewajiban dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat di
Daerah maka seluruh potensi sumber daya yang tersedia di Daerah akan
dimanfaatkan seoptimal mungkin. Salah satu potensi sumber daya yang dimiliki
Sebagian Daerah adalah potensi daerah pesisir.
2.3 Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil
1. Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunnan (pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak ditaati didalam pelaksanaannya.
2. Kompensasi
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi.
3. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.
Undang-Undang No.22/1999 tentang pemerintah daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua bidang.
Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum.
4. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi dan Pemanfaatan Intensif
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut :
Ø Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan
bernilai bagi masyarakat pesisir.
Ø Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik
dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya
perubahan yang kecil.
Ø Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara
ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah
antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif.
5. Penentuan Sektor
Unggulan
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak dll.
6. Penentuan Struktur Tata
Ruang
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
7. Tata Ruang Sistem
Wilayah Aliran Sungai
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.
Perlunya keterpaduan dengan kegiatan penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada zona preservasi di wilayah pesisir.
8. Jarak antar Zona
Preservasi dengan Eksternalitas Negatif
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
Jarak minimal antar Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas negatif ( pencemaran, sedimen, dll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas tersebut dari sumbernya, yaitu :
St = Vt x
t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
9. Musyawarah dan Hak Adat/
Tradisional
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya.
Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan
adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku
dalam sistem tatanan sosial setempat.
Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud
mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial
fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar
wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata
ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk
rencana, yaitu :
Ø Konsensus, adanya peran serta aktif dan
kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana
Ø Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan
rencana-rencana pada tingkat makro
Ø Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan
ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di
atas)
Ø Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan
kepastian hukum
Ø Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya
dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik
terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah, dalam hal ini
termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil
keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator
dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan
kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan.
2.4 Rencana Pengelolaan Kawasan
Pesisir dan Laut.
Dengan
diberlakukannya otonomi daerah melalui undang-undang No. 22/1999, provinsi
diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengkoordinasikan
penggunaan sumberdaya pesisir dalam batas 12 mil laut perairan wilayah
Indonesia. Isi dari undang-undang yang terdapat pada pasal 10 yaitu memberikan
wewenang untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengatur
sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata ruang, mengatur dan
menyediakan bantuan kepada pemerintah pusat dalam pelaksanaan undang-undang dan
kedaulatan nasional.
Berdasarkan
keputusan Menteri No. 10/2002 wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah
peralihan antar ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh 12 mil batas
wilayah kearah perairan dan batas kabupaten atau kota kearah pedalaman. Lokasi
zona pesisir ini merupakan focus dari kegiatan perencanaan dalam proyek MCRM (Marine and Coastal Resources Management). Kewenangan
untuk pengelolaan laut dan sumberdaya pesisir yang terbentang antara 12 mil
batas wilayah perairan sampai dengan 200 mil ZEE Indonesia tetap berada di
pemerintah pusat dan diserahkan kepada DKP.
Otonomi daerah, diasumsikan bahwa
pemerintah kabupaten akan menjadi sasaran pokok dan yang memperoleh manfaat
terbesar dari program ICZM. Rencana ICZM berbasis pada perencanaan untuk
wilayah taman nasional dan konservasi, tetapi hal ini dapat disesuaikan untuk
tingkat cakupan wilayah provinsi, kabupaten/kota atau daerah prioritas. Rencana
strategis biasanya disiapkan untuk wilayah yang luas (Provinsi), tapi dalam
prakteknya dapat juga disusun untuk tingkat kabupaten/kota karena mandat
pengelolaan sumberdaya alam yang diberikan dalam Undang-undang 22/1999. Dalam
proyek MCRM, Rencana Zonasi, Rencana pengelolaan dan Rencana Aksi diharuskan di
tingkat kabupaten, namun boleh juga dilakukan pada tingkat provinsi agar
prakarsa pembangunannya dapat terfokus dan memiliki prioritas.
ICZM adalah suatu proses
pemerintahan yang melibatkan penyusunan rencana-rencana strategis, zonasi,
pengelolaan dan aksi, terstruktur menurut hirarkinya. Rencana-rencana ini
seharusnya disiapkan dengan partisipasi Pemangku Kepentingan yang paling
terpengaruh oleh keputusan pengelolaan sumberdaya. Manfaat menyiapkan dokumen
Rencana Strategis, Rencana Zonasi, dan Rencana Aksi hanya dapat dirasakan jika
kemauan dan kemampuan kelembagaan tersedia untuk melaksanakannya.
Rencana pengelolaan harus mendukung
hakikat penegakan hokum, peraturan-peraturan dan proses-proses administrasi
yang berlaku dengan menyediakan pedoman yang rinci untuk pejabat pemerintah dan
pengelola sumberdaya. Tujuan khusus Rencana Pengelolaan adalah untuk :
1. Membangun kerjasama kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan masyarakat.
2. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal (usulan) pembangunan secara sistematik.
3. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki rencana ICZM.
4. Mengkoordinasikan dengan inisiatif-inisiatif perencanaan lain.
Rencana Pengelolaan (RP) harus
meyakinkan bahwa
·
Adanya kebijakan dan prosedur untuk pelaksanan arahan pemanfaatan wilayah
dan persetujuan penggunaan sumberdaya dan izin-izin pembangunan.
·
Peninjauan arahan pemanfaatan wilayah dan perizinan yang terkait dengannya
dilakukan secara sistematik
·
Terbentuknya buku registrasi public meliputi keseluruhan arahan pemanfaatan
wilayah dan izin penggunaannya.
·
Hasil konsultasi publik dipertimbangkan dalam penentuan atau perbaikan
arahan pemanfaatan wilayah dan pengeluaran izinnya.
·
Catatan resmi publik
terawat dan dapat diakses.
·
Mekanisme pelaporan
pengelolaan dilaksanakan.
·
Pelatihan dan dukungan
terhadap instansi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur tersedia.
Pengelolaan sumberdaya pesisir telah
didelegasikan kepada yang berwenang di daerah berdasarkan UU 22/1999. Oleh
karena itu penyelenggara pemerintah local harus diperkuat untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan pengelolaan seperti inventarisasi sumberdaya alam, perencanaan
untuk perlindungan sumberdaya dan kesinambungan produksi dan penyelesaian
konflik. Struktur rencana pengelolaan merupakan bagian dari sejumlah rencana
ICZM yang saling melengkapi. Rencana ICZM dimaksudkan untuk menjadi
dokumen”hidup” dan oleh karena itu harus diperbaiki secara berkala, sejalan
dengan pengalaman yang diperoleh dari pelaksanaannya.
2.5 Pemanfaatan dan Pengelolaan
Potensi Pesisir di Daerah
Secara
alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang
bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan.
Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut,
terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada umumnya
potensi pesisir dan kelautan yang dimanfaatkan oleh para nelayan baru terbatas
pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Pemanfaatan
potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara
ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak
dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru
dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Pada
umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak di sektor
pariwisata.
Sejalan
dengan pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk
memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah
pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di
Daerah.
Mengingat
kewenangan Daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk
juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi Daerah maka
pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh
Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten
dan Kota yang memanfaatkan potensi daerah pesisir.
2.6 Permasalahan Pemanfaatan dan
Pengelolaan Pesisir
Pemanfaatan
dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun Daerah
sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari
dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan
lingkungannya. Penyebab degradasi kondisi daerah pesisir secara tidak langsung
juga disebabkan oleh pengelolaan sumber daya alam di hulu yang berpengaruh
terhadap muara di pesisir.
Kebijakan
reklamasi pantai yang tidak berdasarkan kepada analisa dampak lingkungan pada
beberapa Daerah juga berpengaruh terhadap ekosistem di pesisir. Perizinan
pengembangan usaha bagi kalangan dunia usaha selama ini sebagian besar menjadi
kewenangan Pusat. Kadangkala dalam hal pemberian izin tersebut tanpa
memperhatikan kepentingan Daerah dan masyarakat setempat.
Jika
kita perhatikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pemanfaatan dan
pengelolaan daerah pesisir dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
·
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan
perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam
menetapkan suatu kebijakan.
·
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir cenderung bersifat sektoral,
sehingga kadangkala melahirkan kebijakan yang tumpang tindih satu sama lain.
·
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum memperhatikan konsep
daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem yang tidak dibatasi oleh
wilayah administratif pemerintahan, sehingga hal ini dapat menimbulkan konflik
kepentingan antar Daerah.
·
Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara
komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap
sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan
dan pengelolaan daerah pesisir.
Sedangkan
isu penting yang perlu segera diluruskan dalam pemanfaatan dan pengelolaan
daerah pesisir ke depan antara lain, yaitu :
·
Adanya kesan bahwa sebagian Daerah melakukan pengkaplingan wilayah laut dan
pantainya. Untuk itu perlu ditetapkan oleh Pusat pedoman bagi pelaksanaan
kewenangan Daerah di bidang kelautan.
·
Pemahaman Daerah terhadap daerah pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem
yang tidak dibatasi oleh batas wilayah administratif pemerintahan.
·
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir secara lestari
dan berkelanjutan.
2.7 Terobosan Baru Pengelolaan Wilayah
Pesisir :
Lahirnya Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU-PWP3K) patut diberikan apresiasi positif,
karena ini menandakan adanya niat baik dari semua pihak, terutama legislatif
dan eksekutif untuk memperhatikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai
potensi unggulan yang selama ini termarjinalkan. UU-PWP3K diharapkan menjadi
payung hukum bagi semua stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan pesisir
dan pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik pemanfaatan yang
berkepanjangan.
Hal
yang menarik dari UU-PWP3K ini yaitu; akan adanya pemberlakuan Hak Pengusahaan
Perairan Pesisir (HP3) di seluruh provinsi dan kabupaten kota di Indonesia yang
memiliki potensi laut, dan dapat diberikan kepada perseorangan, badan usaha
atau masyarakat adat, dimana HP3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan
kolom air sampai dengan dasar laut dengan tetap mempertimbangkan kelestarian
ekosistemnya.
Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) merupakan suatu terobosan baru dan sangat
penting dalam bidang coastal resources management di Indonesia, dan akan mulai
diberlakukan setelah setiap daerah telah selesai melakukan penataan ruang
pesisir dan laut secara jelas dengan mengakomodir semua sektor terkait, untuk
menghindari overlaping dan meminimalisir konflik pemanfaatan perairan pesisir.
Adapun pengecualian dalam upaya pemberian HP3 nantinya adalah tidak boleh
diberikan pada kawasan konservasi, suaka perikanan, pelabuhan, pantai umum dan
alur pelayaran.
Selain
itu, perlu kehati-hatian dalam pemanfaatannya, karena perairan pesisir sangat
berbeda dengan wilayah daratan, baik dari aspek biofisik-kimia maupun
sosial-ekonomi. Secara biologis kawasan ini kaya akan keanekaragaman sumberdaya
hayati yang rentan terhadap faktor eksternal berupa tekanan eksploitasi yang
berlebihan, karena akan menyebabkan over eksploitasi. sedangkan secara fisik
kawasan perairan pesisir beserta sumberdaya alamnya sangat rentan terhadap aktivitas
manusia yang merusak, seperti destruktif fishing, penambangan karang dan pasir,
yang akan menyebabkan degradasi dan menurunkan mutu lingkungan perairan
pesisir. Sementara secara kimiawi kawasan ini juga rawan terhadap bahaya
pencemaran, seperti tumpahan minyak dari kapal dan buangan limbah kimia
berbahaya yang mengandung logam berat dari berbagai aktivitas manusia di
daratan, karena dapat memberikan dampak yang besar terhadap menurunnya kualitas
perairan pesisir.
Dari
aspek sosial-ekonomi, perairan pesisir sangat rentan konflik pemanfaatan ruang
antar berbagai sektor dan atau stakeholder terkait. Apalagi kedepan akan adanya
perubahan yang sangat fundamental terhadap status kepemilikan perairan pesisir
beserta sumberda alamnya, yang tadinya dapat dimanfaatkan oleh semua orang
(open access) karena milik bersama (common property resources), namun dengan
pemberlakuan HP3 akan berubah status menjadi milik pribadi (private property
resources) walaupun dalam batas wilayah dan rentang waktu tertentu, karena
hak-hak masyarakat secara umum berupa hak akses maupun hak pemanfaatan akan
dibatasi bahkan hilang.
2.8 Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah
Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan Bakau Rusak
Pengelolaan wilayah pesisir
tidak terarah. Hingga kini, pemerintah pusat belum menerbitkan aturan tentang
panduan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Hal ini menghambat upaya
pemerintah kabupaten/kota dalam upaya membangun wilayah pesisir.
Hal
itu dikemukakan Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor
Arif Satria, Selasa (9/9) di Jakarta. Menurut Arif, belum dibuatnya aturan
perencanaan pengelolaan wilayah pesisir menunjukkan bahwa pemerintah pusat
belum berpihak pada pelestarian dan pengelolaan kawasan pesisir.
Dijelaskan,
pada Juli 2007, pemerintah menerbitkan Undang- Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU itu menugaskan
agar dibuat peraturan menteri (permen) kelautan dan perikanan paling lambat
Oktober 2007 untuk menjabarkan UU No 27/2007 itu. ”Namun, hingga kini belum ada
permen yang disahkan,” kataArif.
Setidaknya
11 draf permen kelautan dan perikanan terkait pengelolaan pesisir telah selesai
disusun tahun 2007, tetapi hingga kini belum ada yang disahkan.
Rancangan
permen itu antara lain tentang perencanaan pengelolaanpesisir, pemberdayaan
masyarakat, konservasi pesisir, mitra bahari, pemanfaatan pulau kecil,
pengawasan, dan akreditasi. ”Kelambatan penerbitan aturan turunan merupakan
langkah mundur pemerintah. Ini menghambat kabupaten/kota dalam perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir,” ujar Arif.
Menurut
Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil DKP Syamsul Maarif,
tertundanya pengesahan permen pengelolaan pesisir karena ada hambatan
administrasi.
Syamsul
mengakui, tidak adanya aturan yang jelas telah menyebabkan pengelolaan wilayah
pesisir tidak terarah dan berpotensi merusak lingkungan.
Menurut
Syamsul, meski belum ada panduan dari pemerintah pusat, pemerintah
kabupaten/kota dapat menyusun perda pengelolaan pesisir tanpa harus menunggu
permen.
”Silakan pemda berkonsultasi dengan
pemerintah pusat tentang perda pengelolaan pesisir. Sepanjang isinya tidak
bertentangan dengan undang-undang, maka dimungkinkan,” katanya.
Tidak
adanya panduan tentang pengelolaan pesisir, kata Arif, membuat pemda kerap
membuat aturan tata ruang sendiri yang acapkali tidak memerhatikan
kelestarian lingkungan.
2.8.1 Hutan bakau rusak
Data
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, laju kerusakan hutan
bakau sekitar 200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, dan Jawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air kini diperkirakan
hanya tinggal 1,2 juta hektar karena sebagian sudah beralih menjadi tambak,
permukiman, dan kawasan industri. Padahal, luas wilayah pesisir Indonesia dua
pertiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang
kedua di dunia. (lkt) Kompas.com 10-09-2008.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir yang dilakukan oleh masyarakat maupun Daerah sebagian belum memenuhi ketentuan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kondisi dan kelestarian pesisir dan lingkungannya. Pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir belum diatur dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga Daerah mengalami kesulitan dalam menetapkan suatu kebijakan. Kewenangan Daerah dalam rangka Otonomi Daerah belum dipahami secara komprehensif oleh para stakeholders, sehingga pada setiap Daerah dan setiap sektor timbul berbagai pemahaman dan penafsiran yang berbeda dalam pemanfaatan dan pengelolaan daerah pesisir.
3.2 Saran
Pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dan pelaku pembangunan serta semua stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir secara terpadu.
Pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dan pelaku pembangunan serta semua stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan daerah pesisir secara terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Petunjuk Penyusunan RENCANA PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR DAN LAUT.Direktorat Pesisir dan Lautan. 2006. http://www.kp3k.dkp.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=260 online
12 Agustus 2009 at 20.49 WIB.
Dedi syafikri.Identifikasi Potensi dan Permasalahan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Era.28 april 2009. http://www.nusatenggaranews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=16&artid=8195. Online 12 Agustus 2009 at 21.30 WIB.
Disajikan pada Forum Teknologi
Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir, Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan
Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Graha
SUCOFINDO, Jakarta Selatan, 12 September 2001
Permasalahan dan Isu Pengelolaan dan Pemanfaatan Pesisir Di Daerah. http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=106. Online 12 Agustus 2009 at 20.38 WIB.
Husain Latuconsina(Staf Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Darussalam).HAK PENGUSAHAAN PERAIRAN PESISIR DI INDONESIA.online 12 Agustus at 20 40 WIB.
Pengelolaan Pesisir Tidak Terarah
Setiap Tahun 200.000 Hektar Hutan Bakau Rusak
http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=8317&Itemid=696 online 12 Agustus 2009 at 20.55
WIB.
PENTINGNYA PENGELOLAAN TATA RUANG
WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. February 18, 2007 by Joyke Christian Kumaat. http://jchkumaat.wordpress.com/2007/02/18/pentingnya-pengelolaan-tata-ruang-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil/ online
12 Agustus 2009 at 21.22 WIB.
Makalah Neni Nurani.2008.
artikel yang sangat memberikan informasi
BalasHapuswww.sepatusafetyonline.com